Tomorrow Side Story: Pertemuan Pertama (Annabelle Point of View)
/
0 Comments
Aku sudah seminggu di Jepang, ini adalah hari
terakhirku, meskipun aku sudah berkeliling di sini, tetapi aku belum pernah
keluar dan berjalan-jalan menyusuri kota. Perkenalkan, aku Annabelle, nama
lengkapku Annabelle Kathleena Althalie, anak pertama dari Sir Cearnaigh Ernest
Althalie, pemilik Airwave Corporation. Orang tuaku memanggilku Abella, dan aku
sangat menyayangi kedua orang tuaku.
Tinggal bersama orang tuaku di Arbreite, sebuah
kota yang ada di Admaspheria, tetapi aku lahir di Dublin, orang tuaku
memutuskan untuk pindah semenjak ekspansi Inggris Raya ke Irlandia yang membuat
kami terpaksa harus memindahkan banyak hal lima tahun yang lalu. Setelah aku
menginjak SMP, aku diminta untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen khusus
wanita, Belldandy yang berada di Rayseans. Cukup perkenalannya, saat ini aku
sedang meminta izin ayahku untuk keluar hotel, karena siang ini aku harus
kembali ke Rayseans.
“Ayolah Pa, sekali saja,” pintaku sedikit manja
kepada ayahku, “jangan Abella, kau baru pertama kali kesini,” ujar ayahku
dengan penuh senyum.
“Aku janji Pa, hanya sekali,” pintaku sambil
menunjukkan angka satu dengan jari tangan kananku, “baiklah Abella, kau boleh
keluar,” ujar Ayahku, aku memeluknya dengan hangat, senang rasanya aku
diizinkan untuk keluar meskipun hanya beberapa saat saja.
“Abella, apa kau mau ditemani?” tanya ibuku lembut,
aku menggeleng pasti, “tidak Ma, biar aku sendiri saja,” ujarku dan aku pun
keluar dari kamar menuju elevator.
Asyik, kebetulan arahnya turun, sehingga aku tidak
perlu menunggu lama untuk tiba di bawah. Saat pintu elevator itu terbuka, ada
seorang laki-laki seumuranku sudah berdiri di sana, ia tampak asyik dengan
ponselnya. Biarkan saja, mungkin di sedang sibuk, aku sedikit memperhatikannya,
tetapi ia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Ya sudahlah, siapapun dia aku
tidak peduli, karena menurutku dia sangat acuh dengan keadaan sekitar.
Tiba di lobi, aku sudah tidak sabar untuk berjalan
keluar, merasakan udara Jepang sekali lagi sebelum aku pulang nanti. Kulihat
jam di tangan kiriku, dan aku berkata dalam hati, masih ada beberapa jam untuk
pulang, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Aku berjalan ke sisi lain kota yang
sangat ramai tersebut, sepanjang jalan banyak yang menyapaku dengan bahasa
Jepang, dan aku hanya melemparkan senyum kepada mereka.
Aku berkeliling cukup jauh dari hotel, dan
bodohnya, aku lupa dimana tempatku menginap, sudah setengah jam aku berjalan.
Aku menemukan kedai roti di dekat sana, kebetulan pagi ini aku tidak ikut
sarapan bersama orang tuaku dan adikku. Kuputuskan untuk mampir sebentar dan
memesan beberapa makanan untuk sarapan.
“Selamat pagi, selamat datang,” ujar pelayan
tersebut, aku memandangnya dan tersenyum, “terima kasih,” ujarku dan duduk di
sebuah kursi sofa yang berada di sebelah kaca jendela besar, aku bisa memandang
keluar dari kaca tersebut.
“Nona Althalie,” ujar pelayan tersebut sopan,
“sudahlah Annabelle saja,” ujarku dan tersenyum.
“Baiklah, Annabelle, apa yang ingin Anda pesan?”
tanyanya dengan ramah.
“Cokelat panas dan Croissant,” ujarku dan
tersenyum, “untuk gula dan susunya?” tanyanya lagi, “full cream milk please, extra sugar,” ujarku lagi.
Pelayan itu lalu pergi, aku memandang keluar
jendela, dan kulihat jalanan cukup ramai di sini. Mataku tertuju ke arah
seorang gadis yang saat itu berjalan ke arah toko tersebut, sebuah kebetulan ia
juga menatapku dan tersenyum, wajahnya nampak ramah. Ia menggunakan baju casual
dan mengikat rambutnya ekor kuda, setelah beberapa saat, ia masuk ke dalam
kedai tersebut dan menuju ke arahku.
“Annabelle Althalie?” tanyanya dengan wajah yang
sedikit penasaran, aku menggangguk lalu tersenyum, “iya ada apa?” tanyaku.
“Tidak apa, hanya ingin menyapamu, ternyata benar
itu dirimu,” ujarnya lalu tersenyum, “wajahmu mirip seseorang,” ujarnya lagi.
“Eh, memangnya siapa?” tanyaku heran, “tetanggaku,
hanya saja dia tipikal Jepang,” ia lalu tertawa kecil.
“Oh aku hampir lupa, perkenalkan aku Ayase
Takebara, salam kenal,” ujarnya lalu menjulurkan tangan, aku pun menyambutnya, “aku
Annabelle Kathleena Althalie, salam kenal.”
Kami berbincang cukup banyak, ia mengatakan bahwa
ia bersekolah di Meiou, salah satu sekolah unggulan di Tokyo, dan ia juga
mengatakan bahwa ia sangat senang bertemu denganku. Dan yap, sarapanku sudah
datang, aku memesan satu paket lagi untuk Ayase, dan dengan senang hati ia
menerimanya. Tidak terasa cukup lama aku mengobrol hingga sudah hampir setengah
jam aku di sana, khawatir Papa mencariku, akhirnya aku pamit kepadanya.
Setelah keluar dari kedai kopi, tiba-tiba aku lupa
dengan semua jalan yang telah aku lalui, yang aku ingat hanyalah taman besar di
sana. Ya, aku pun berjalan dengan mantap menuju taman tersebut. Cukup lama
berjalan menuju kesana, karena banyak persimpangan dan itu artinya aku harus
menunggu lampu merah.
Sekian lama berjalan, yup, aku tiba di persimpangan terakhir menuju taman, tetapi
setelah kuperhatikan, semua gedung di sini nampak sama, aku mulai terdiam
memandangi sekitar. Dimana aku saat ini, itu yang muncul di benakku, dan aku
tidak tahu lagi harus kemana saat ini. Instingku mengatakan, aku harus
menyebrang menuju taman agar aku bisa melihat dimana hotelku berada. Tidak ada
uang receh, tidak apa ponsel, itu artinya aku tersesat di tengah kota, berharap
keajaiban datang dan aku berjalan menyebrang ke arah taman.
Tanpa kuduga, ada seseorang datang dari seberang
jalan, seketika kuperhatikan dia, dan ia mendorongku menuju tepi jalan. Sampai kusadari
bunyi mesin V8 melintas di depanku, apakah ada yang ingin menabrakku? Padahal saat
itu adalah lampu merah untuk kendaraan dari segala arah. Aku terdiam, laki-laki
itu membiarkan tubuhnya menjadi bantalan tubuhku, aku terdiam sangat lama,
detak jantungku berdetak sangat cepat, tidak mungkin ia adalah laki-laki dari
hotel tadi.
Semua mata memandang kami, ini seperti drama,
pikirku, sementara mobil tadi entah hilang kemana. Aku larut dalam dekapan
laki-laki muda itu, ya aku masih berumur 11 tahun saat ini, dan tidak mungkin
kan aku jatuh cinta, tetapi aku tidak tahu lagi ini apa. Tidak lama, ia pun
mengisyaratkan aku untuk berdiri, ia membantuku.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya pelan, aku sangat
terkesima oleh laki-laki itu, aku pandangi wajahnya dan hanya mengangguk,
“syukurlah sekarang kau berdiri dan kembalilah ke hotel,” ujarnya dengan
tersenyum, ia menolongku untuk berdiri, lalu seketika pula ia pergi tanpa
menoleh ke belakang.
Laki-laki itu, ya dia, entah apa yang ia miliki,
ada perasaan nyaman saat aku didekapnya, seperti kedua orang tuaku. Aku berjalan
tidak tentu arah memikirkan laki-laki itu, ia sudah menghilang, kemana dia? Aku
berusaha mengikutinya, tetapi aku tidak menemukannya, hingga saat aku tiba di
persimpangan lain, laki-laki itu kembali muncul.
“Kau, mengapa belum kembali ke hotel?” tanyanya,
sangat ramah dan sangat hangat.
“Eh, i…itu,” aduh, bibirku kelu dan tidak bisa
mengatakan apapun, pipiku sangat panas saat ini, “baiklah aku antar kau kembali
ke hotel,” ia lalu berjalan di depanku, dan kuikuti kemana dia melangkah.
Siapa namanya, aku ingin bertanya, tetapi aku tidak
berani, aku hanya bisa mengikuti kemana ia melangkah, ia sangat baik dan sangat
hangat, aku sangat nyaman berada bersamanya. Dan huft, kami tiba di hotel, ia
hanya melambaikan tangan ke arahku dan ia kembali naik ke kamarnya, di sana
sudah ada orang tuaku yang menungguku.
“Kemana saja kau Abella?” tanya Ibuku, “maaf Ma,
aku tadi tersesat, dan ia yang mengantarkaku pulang,” aku menunjuk ke arah elevator
yang sudah tertutup.
“Seorang laki-laki?” tanya Ayahku dan tersenyum
kecil, “hum,” aku mengangguk pasti, “lalu dimana ia tinggal?” tanya Ayahku
lagi.
“Entahlah Pa, ia sepertinya bukan orang Jepang, dan
ia adalah tamu di sini,” ujarku sambil mengerucutkan bibirku.
“Schnneider, itu nama keluarganya, entahlah siapa
nama depannya,” ujar Ibuku, “ayolah nanti kita terlambat,” Ibuku lalu
mengajakku pergi.
Tokyo, aku harus pergi meninggalkan kenanganku
bersama laki-laki itu, ia sangat hangat dan nyaman, aku merasakan kebahagiaan
meskipun hanya beberapa saat. Kuharap, suatu saat aku bisa bertemu lagi
dengannya, laki-laki yang sudah menyelamatkanku dari kecelakaan, dan aku pun
belum menceritakan ini kepada kedua orang tuaku.