Tomorrow Side Story: Pertemuan Pertama (Carl Point of View)

/
0 Comments
Jepang, negara ini indah, itu yang ada di dalam pikiranku, aku baru mendarat di sini setengah jam, dan aku bisa melihat keindahan negara ini meskipun baru beberapa kilometer aku berjalan dari bandara. Aku Carl Schnneider, dan ini bukan namaku yang sebenarnya. Aku adalah Carl Aldrencht Parschtbeg, anak kedua dari Cartz Redeschon Parschtberg pemilik DAPG. Aku dikirim orang tuaku ke Jepang untuk melanjutkan sekolah di sini.
“Kemana aku akan pergi Pak?” tanyaku sopan kepada supir pribadiku, “ke hotel Raunsfurr-Haff tuan Parschtberg, di tengah Tokyo,” jawabnya dengan sopan.
“Tidak perlu panggil aku Tuan, panggil aku Carl saja,” ujarku enteng.
Dominasi RDTech sangat kuat di sini, ya RDTech adalah pesaing terbesar DAPG, mereka sudah lama ingin menghancurkan kami, tetapi tidak pernah berhasil. Hanya di Jepang mereka berkuasa, delapan puluh persen sumber daya di sini menggunakan RDTech, sehingga agak sulit menemukan atribut DAPG di kota ini.
Aku baru lulus dari Mintche Technological Institute and University, dari negara asalku, Admaspheria. Lulus sebagai M.o.G atau Master of Genius bukanlah sesuatu yang mudah, selain selama masa akademis banyak tantangan yang aku hadapi, masa percobaan sebelum aku meraih gelar Ge.D atau Genius of Doctoral terbilang sangat sulit. Salah satu syarat aku bisa melanjutkan ke Ge.D adalah dengan mengimplementasikan hasil penelitianku dan harus bisa berbaur dengan dunia sekitar tanpa di ketahui.
Kata-kata tanpa diketahui ini sangatlah sulit, betapa tidak, sejak aku masuk MTIU, semua orang di Orion Arm tidak pernah mengetahui siapa aku. Tidak masalah untukku, justru satu keuntungan menjadi tidak terlihat, sehingga aku bisa benar-benar merasakan menjadi remaja yang sebenarnya.
“Sudah sampai Carl,” ujar supirku dengan canggung, “terima kasih Pak,” aku lalu melempar senyum ke arahnya.
“Carl, apa kau sudah tahu dimana kau akan tinggal nanti?” tanya supir itu lagi dengan ramah, aku lalu turun dari mobil dan mengampirinya dari sisi kiri lalu masuk ke kursi baris pertama.
“Satu hal yang tidak aku suka dari mobil ini, penyekat antara supir dan penumpang di baris kedua,” ujarku tersenyum, “iya Carl,” ia tampak gugup tetapi aku tersenyum dan mengisyaratkan semuanya baik-baik saja.
“Aku harus tinggal di daerah Akihabara, di sana ada apartemen, kunci dan akses sudah aku terima, hanya perlengkapan proteksi belum selesai dipasang,” ujarku sambil mengingat, “lalu ada lagi aku akan bersekolah di Meiou, masuk pada Minggu depan, ya aku ingat itu,” ujarku lalu tersenyum.
“Untuk kamar hotel?” tanya supirku dengan wajah yang mulai terbiasa, “griya tawang lantai paling atas,” ujarku dan tersenyum, “dan aku ingin kau menemaniku,” ujarku lalu memasang sabuk pengamanku.
Supir itu sedikit terkejut saat aku memintanya menemaniku, yang benar saja umurku baru 13 tahun dan harus ada pendamping untuk melakukan apapun. Aku adalah Carl Schnneider, jadi tidak boleh ada sesuatu yang salah bahkan di hari pertama aku harus berada di negara lain.
Namanya adalah Roschmidt Schnneider, dan aku terinspirasi mengambil nama Schnneider karena namanya. Umurnya sama seperti Ayah, kira-kira 43 tahun, sehingga aku rasa ia cocok menjadi sosok Ayah untukku selama berada di Jepang, atau mungkin untuk kumasukkan sebagai nama orang tuaku di data kependudukan dunia. Apapun itu, ia sepertinya sudah terbiasa berada di sampingku. Setelah mobil tersebut diparkirkan, aku memintanya untuk turun dan ikut aku hingga ke tempat aku menginap. Ia menyetujui itu dan menemaniku hingga ke Griya Tawang, tempat dimana aku menginap.
Kamar ini cukup indah, dengan luas sekitar 200 meter persegi dan ornamen kayu di sekitarnya membuatku merasa nyaman di sini. Cukup jelas terlihat pemandangan kota Tokyo pada pagi hari itu, dan aku memperhatikan kaca panorama besar yang benar-benar mengarah ke kota tersebut.
Sangat ramai, gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh di kota yang hanya seukuran seperempat Rayseans, Ibukota dari Admaspheria. Tidak sebesar Rayseans memang, tapi disini sangat padat, persis kata orang-orang, Tokyo sejak jaman sebelum perang nuklir, mereka adalah negara yang sangat tekun dan rajin. Mereka di sini selalu disiplin dalam memanfaatkan waktu sehingga sampai tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.
“Pak, bolehkah aku berjalan-jalan sebentar?” tanyaku kepada Roschmidt, “baiklah Carl, tetap hati-hati ya,” ujarnya lalu tersenyum kepadaku.
Aku keluar dari kamar, lalu masuk ke dalam elevator untuk turun. Setibanya di lantai 38, pintu elevator terbuka, kulihat seorang gadis masuk ke dalam elevator itu, aku tahu ia gadis karena wangi sabun mawar emas yang ia gunakan. Aku tidak terlalu peduli, karena sedang mengirim email kepada ayahku di Quantroun, rumahku di Admaspheria. Yang jelas, gadis itu menggunakan baju dress kuning lemon selutut dan wanginya sangat khas.
Keluar dari hotel, aku mencoba mencari sesuatu yang baru, ya di dekat sana ada taman yang menurutku cukup ramai. Aku sedikit mencolok di sini, aku adalah keturunan Jerman, dimana jarang orang sebangsaku main ke negara Jepang. Alasan utama mereka adalah RDTech, dan mereka tidak menggunakan bahasa Admaspheria di sini, mereka hanya mau menyapa dengan Bahasa Jepang, dimana itu harus dipelajari terlebih dahulu. Hanya sebagian yang mempelajarinya, tetapi kebanyakan tidak mau.
Setengah jam berada di luar, aku memutuskan untuk kembali ke kamar hotel. Dan saat dalam perjalanan pulang, aku melihat gadis dengan baju kuning lemon tadi ingin menyebrang jalan. Ia nampak sedikit bingung, aku lalu memperhatikannya dari agak jauh, wajahnya tidak terlalu jelas, karena sinar matahari mengarah kepadaku. Sedikit terburu-buru, gadis itu menyebrang di jalanan yang tampak pada tersebut.
Aku melihat sekeliling, celaka ada sebuah Nissan GT-R hitam melaju ke trahnya, dengan cepat aku berlari dan dengan sigap aku mendorongnya hingga kami tersungkur di trotoar. Untunglah aku tepat waktu, terlambat sedikit saja ia pasti sudah tertabrak oleh mobil tersebut. Ia cukup terkejut dan tidak berkata apapun kepadaku selain hanya terdiam cukup lama. Banyak mata memperhatikan kami, sementara mobil tersebut sudah hilang entah kemana.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku pelan, ia tidak menjawab hanya mengangguk, “syukurlah sekarang kau berdiri dan kembalilah ke hotel,” ujarku lalu tersenyum kepadanya, aku membantunya berdiri dan setelah itu aku meninggalkannya.
Aku berjalan menuju ke hotel, agak membingungkan memang berjalan di sini, dan aku memperhatikan gadis itu dengan tersenyum, entah apa yang ada di pikiranku, tetapi sentuhan tadi benar-benar membuatku merasa senang dan nyaman, entah apa namanya, tetapi aku tidak terlalu mengingat wajahnya. Melihatnya sedikit bingung dan berputar-putar, aku berniat untuk kembali dan mengantarkannya.
“Kau, mengapa belum kembali ke hotel?” tanyaku dengan ramah.
“Eh, i…itu,” ujarnya terbata, “baiklah aku antar kau kembali ke hotel,” ujarku lalu berjalan di depannya.
Wajahnya sangat cantik, itu yang aku pikirkan pertama kali rambutnya cokelat dan raut wajahnya, aku mulai mengingatnya tanpa aku memandangnya. Saat itu aku pikir, aku menyukai gadis itu, tetapi umurku baru 13 tahun dan menurutku masih terlalu dini mengatakan bahwa aku menyukainya. Tetapi pertemuan ini aku tidak akan pernah bisa lupakan, karena menurutku ia adalah gadis yang sangat cantik dan juga lugu.
Kami sudah sampai di hotel tersebut, setelah itu aku meninggalkan gadis itu di lobi lalu aku naik ke kamarku. Sialnya, karena pikiranku bercabang, aku lupa bertanya siapa namanya dan ia tinggal dimana. Wajahnya masih kuingat walau samar, sedikit terbayang dengan gadis lain saat itu, dan bayangan raut wajah gadis kuning lemon itu pun perlahann memudar.
Gadis lain itu Thelletha, dia adalah temanku di MTIU, dia juga lulus bersama denganku, bedanya ia dilantik dan diangkat menjadi perwira di Admaspheria karena kemampuannya dalam strategi perang dan membuat persenjataan perang yang akhirnya digunakan dan diproduksi masal oleh DAPG untuk Admaspheria.
Thelletha, dan aku selalu memanggilnya Theta. Gadis itu memiliki rambut pirang yang panjang dan sikap yang tegas, tetapi ia adalah gadis yang lembut dan penyayang. Entah mengapa akhir-akhir ini aku selalu memikirkannya setelah aku menyatakan perasaan suka yang hanya dibalas senyuman olehnya, entahlah. Sedikit sesal kubawa hingga ke Jepang, dimana aku harus memulai hidup baru sebagai Carl Schnneider dan melanjutkan sekolah di Meiou.
Akhirnya aku tiba di kamarku, dan aku merebahkan diriku di sofa yang berada di sana. Roschmidt masih berada di sana, ia sepertinya juga senang menjagaku. Sedikit lelah yang kurasakan akhirnya setelah aku membersihkan diri di kamar mandi, aku akhirnya memutuskan untuk istirahat pada hari menjelang siang tersebut.


You may also like

Tidak ada komentar:

Entri Populer

Diberdayakan oleh Blogger.